Memperkuat Ruang Sipil (Civic Space) dalam Aksesi Indonesia Menuju OECD

Memperkuat Ruang Sipil (Civic Space) dalam Aksesi Indonesia Menuju OECD

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Joko Widodo menargetkan Indonesiamasuk menjadi anggota OECD. Keanggotaan OECD diharapkan dapat membawa banyak manfaatbagi Indonesia, terutama dalam hal terbukanya perdagangan dan investasi, transfer teknologi daninovasi, serta membuka akses pasar bagi ekspor.

Pada 30 Mei 2023, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada OECD. Tanggal 14 Juli 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian secara resmi menyampaikan minat untuk menjadi anggota OECD. Secara aktif, dalam berbagai forum internasional seperti G20 di India, sidang PBB ke 78 di New York, Indonesia melakukan pendekatan agar bisa diterima sebagai anggota OECD.

OECD Council memutuskan untuk membuka diskusi aksesi pada 20 Februari 2024. Selanjutnya,pada 22 April 2024, Presiden Joko Widodo mengesahkan Keppres No. 17 Tahun 2024 tentang Tim Nasional Persiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia dalam OECD dan menunjuk MenkoBidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebagai Ketua Tim Nasional.

Dalam proses aksesi menjadi anggota OECD, konteks ruang sipil dan demokrasi di Indonesia perlumengalami pemajuan, selaras dengan prinsip democratic governance yang didorong OECD. OECD melalui The Protection and Promotion of Civic Space yang diluncurkan pada 2022, mendorongkerangka kerja tentang ruang sipil yang terdiri dari empat dimensi yakni, kebebasan berekspresidan berkumpul, akses informasi, kebebasan media dan ruang sipil di era digital, serta lingkunganyang kondusif bagi masyarakat sipil.

Ruang sipil Indonesia saat ini berdasarkan Civicus Monitor, berada pada status Terhalang (Obstructed) dengan skor 44. Status demokrasi Indonesia berdasarkan Freedom Housemendapatkan skor 58 yang terdiri dari 30 untuk political right dan dan skor 28 untuk civil liberties dan dinyatakan memiliki status Partly Free.

Dalam konteks OECD, terdapat tiga negara anggota OECD dengan status Repressed yaitu Turki (27), Kolombia (37) dan Meksiko (40) yang statusnyadi bawah Indonesia. Dibandingkan dengan negara kandidat OECD, Indonesia memiliki posisi terbawah kedua setelah Peru yang memiliki skor 43. Negara kandidat lainnya adalah Brazil (49),Argentina (69), Bulgaria (70), Rumania (73) dan Kroasia (74).

Padahal, Indonesia memiliki berbagai macam regulasi yang mengatur tentang ruang sipil yangdiratifikasi dari peraturan internasional. Pemerintah juga telah membentuk lembaga negara yangbertanggung jawab dalam pemenuhan ruang sipil di Indonesia. Namun regulasi tersebut belumdiimplementasikan dengan baik dan hanya menjadi “macan kertas”. Pada dimensi kebebasan berekspresi dan berkumpul, organisasi masyarakat sipil di Indonesiamenyuarakan kegelisahan mereka. Pemerintah dinilai kurang melibatkan organisasi yang bersikapkritis, juga tidak melibatkan organisasi berbasis kelompok marjinal dan organisasi perempuan.

Jikapun dilibatkan, suara mereka tidak didengar. Sebagai contoh adalah perumusan peraturan terkait pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja juga penerbitan Peraturan pemerintah No. 36/2021 tentang pengupahan yang kemudian diubah menjadi PP 51/2023, UU Cipta Kerja, dan lain-lain.

Dalam dimensi akses informasi, masyarakat masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi publik. Terdapat prosedur yang seringkali dijadikan alasan untuk menghambat pengaksesan. Dimensi yang dikeluhkan secara kritis oleh organisasi masyarakat sipil adalah terkait kebebasan pers dan ruang sipil. Sebagai contoh, UU ITE meskipun dimaksudkan untuk mengatur transaksi elektronik dan perlindungan data pribadi, implementasinya di lapangan sering digunakan secara kontroversial untuk menekan kebebasan berekspresi dan berpendapat, terutama terhadap aktivis HAM atau pro-demokrasi.

Dalam dimensi Lingkungan kondusif bagi Masyarakat Sipil, organisasi masyarakat sipil juga menyuarakan keprihatinan. Sebagai contoh, Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Organisasi Masyarakat sebelumnya bisa dikeluarkan oleh Pemda sekarang harus melalui Kementerian Dalam Negeri. Hal lain juga silang sengkarut pengaturan organisasi masyarakat dalam RUU Ormas. Dalam aspek pendanaan, peluang bagi organisasi masyarakat juga semakin kecil dimana selain semakin sedikitnya lembaga donor, juga peraturan untuk memperoleh pendanaan yang semakin sulit. Di sisi lain, upaya pemerintah untuk meningkatkan kapasitas bagi organisasi masyarakat belum dilakukan secara optimal.

Benang merah gagasan yang ditawarkan penelitian ini adalah perlunya sejumlah langkah strategis untuk memperluas ruang sipil dan memperkuat partisipasi masyarakat. Beberapa hal strategis tersebut di antaranya:

Pertama, negara melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) harus menegakkan kebebasan pers, menghargai perbedaan pendapat, serta memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Kedua, negara melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) wajib melindungi hak asasi manusia dan melakukan pemberantasan kekerasan secara sistemik serta menyusun perundang-undangan dan peraturan dalam perlindungan HAM dan eradikasi kekerasan.

Ketiga,negaramelaluiKementerianDalamNegeri(Kemendagri)wajibmemberikanruangbagi lembaga-lembaga masyarakat sipil, media, dan OMS yang memiliki peran krusial dalam memperjuangkan perluasan ruang sipil, perlindungan hak asasi manusia, dan pemberantasan kekerasan.

Keempat, negara melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) harus memberikan dukungan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi keberlanjutan organisasi masyarakat sipil dengan melibatkan dukungan pendanaan lembaga internasional, sektor swasta dan juga dari masyarakat.

Kelima, organisasi masyarakat wajib terus berbenah dan melakukan penguatan kapasitas kelembagaan, menjalankan praktik organisasi yang transparan dan akuntabel.

Penelitian ini juga merumuskan rekomendasi secara terperinci terkait; Penguatan Ruang Sipil dalam Aksesi Indonesia Menuju OECD, OMS Merespons Keinginan Pemerintah dalam Aksesi menuju OECD, Pentingnya Penguatan Civic Space di Indonesia, Membina Lingkungan Mendukung Masyarakat Sipil untuk Aksesi Indonesia Menuju OECD. Rekomendasi ini menjadi asa bagi penguatan ruang sipil di Indonesia yang perlu untuk ditindaklanjuti oleh INFID dan OMS di Indonesia serta jejaring kerjanya.