Organisasi Masyarakat Sipil Menyoroti Pelemahan Ruang Sipil, Demokrasi dan HAM
Oleh: Ari Wibowo, Program Officer HAM & Demokrasi INFID
Editor: Intan Bedisa, Communication INFID
INFID menggelar Konsolidasi Masyarakat Sipil melalui Dialog Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) “Peran dan Tantangan OMS dalam Penguatan Ruang Sipil dan HAM Pada Masa Transisi Kepemimpinan Pemerintahan” di Jakarta pada 13 Mei 2024. Acara ini merupakan respon bersama atas berbagai upaya pelemahan ruang sipil, demokrasi, dan HAM yang terus terjadi di akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Hal ini menjadi keprihatinan kolektif dan perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.
OMS berperan penting dalam mendukung proses demokrasi yang substantif, mengadvokasi kebijakan publik, dan melakukan kontrol sosial. Namun, saat ini OMS dan rakyat dihadapkan pada berbagai situasi yang dapat menghambat kerja-kerjanya, termasuk pelemahan demokrasi, proses pembuatan kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat, korupsi yang semakin akut, hingga masalah keberlanjutan organisasi akibat semakin terbatasnya sumber pendanaan.
Dalam pembukaannya, Direktur Eksekutif INFID Iwan Misthohizzaman menyampaikan sejumlah poin yang perlu menjadi pembahasan serius bersama masyarakat sipil. Pertama, bagaimana merespon penurunan ruang sipil, demokrasi, dan HAM. Kedua, pentingnya mendapatkan gambaran tentang peta termutakhir dan prospek demokrasi, penegakan HAM dan tantangan keberlanjutan OMS di Indonesia, khususnya di masa transisi pemerintahan. Ketiga, kebutuhan untuk konsolidasi dan merumuskan arah gerakan-gerakan masyarakat sipil di Indonesia, dan keempat adalah perlunya mendengar masukan untuk kerja-kerja INFID dan masyarakat sipil ke depan.
Kegiatan ini menghadirkan lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia yang tergabung melalui platform Zoom maupun hadir secara langsung. Sebagian besar di antaranya adalah anggota INFID di seluruh Indonesia. Saat ini, INFID memiliki 78 anggota dari organisasi masyarakat sipil dan 2 anggota individu yang tersebar di 18 provinsi. Tidak hanya teman-teman OMS, sejumlah ekspertis mengisi jalannya diskusi dan konsolidasi ini. Di antaranya adalah Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Sosiolog Universitas Indonesia Meuthia Ganie-Rochman, serta Penasihat Ahli INFID sekaligus akademisi Muhammad AS Hikam.

Keterangan: Jalannya diskusi organisasi masyarakat sipil pada 13 Mei 2024 di Jakarta. Sumber: Dok. INFID
Dalam diskusinya, Atnike membahas tantangan kebijakan dalam pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia pada masa transisi kepemimpinan pemerintahan. “Maka kalau kita melihat apa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat setidaknya melalui mekanisme yudisial, apa sesungguhnya yang menjadi faktor penting dari sebuah upaya-upaya keadilan? Pertama, tentu kita tidak bisa melepaskan dari politik hukum atau politik hukum hak asasi. Di dalam pelaksanaan prosedur penyelidikan, penyidikan, pengadilan sendiri ada banyak persoalan teknis, tapi kita juga menyadari bahwa faktor politik menjadi faktor penentu yang sangat besar bagi keberhasilan pembentukan sebuah pengadilan maupun dilaksanakannya suatu proses peradilan”, ujar Atnike.
Tidak hanya tantangan dari dalam negeri, gejolak geopolitik dan geoekonomi di tingkat internasional dan kawasan juga dinilai akan berdampak pada situasi demokrasi di Indonesia. Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menekankan bahwa di akhir pemerintahannya, Jokowi menghidupkan ideologi neo-developmentalisme yang dulu dihancurkan oleh masyarakat sipil. Hal ini dilakukan misalnya melalui kebijakan-kebijakan yang mengandalkan investasi luar negeri dan utang untuk mengamankan modal. “Praktik represif dilakukan untuk menyusutkan ruang sipil di antaranya pendekatan keamanan atas kritik pembangunan, politisasi badan keamanan, aparat berhadapan vis a vis masyarakat, dan aparat jadi instrumen pemerintah yang tidak independen”, terang Usman.
Muhammad AS Hikam juga mengungkapkan kecemasannya akan timbulnya gejala demokrasi yang otoritarian hari ini. Ia menilai bahwa masyarakat sipil memiliki peran sentral dalam upaya mencegah hal tersebut. “Yang kita harus cegah, harus dimitigasi adalah bagian intention-nya jalan demokrasi untuk menegakan otokrasi atau authoritarianism. Masyarakat sipil ini yang terutama bisa jadi leading sector dalam upaya mencegah atau mitigasi. Yang paling penting dilakukan masyarakat sipil adalah terus menerus berusaha agar nilai demokrasi dan praktek demokrasi ini tetap mendapatkan prioritas dalam pegembangan demokrasi, bukan hanya pada sisi politiknya, tapi juga ruang-ruang public space, value, dan budaya”, pungkas AS Hikam.

Keterangan: Perwakilan dari Migrant Care (anggota INFID) menyampaikan aspirasi dan masukan untuk agenda dan gerakan masyarakat sipil. Sumber: Dok. INFID
Menilik berbagai tantangan yang ada, Meuthia Ganie-Rochman mengungkap apa yang ia identifikasi sebagai hambatan kelembagaan masyarakat sipil dalam gerakan-gerakannya selama ini. “Secara global, terjadi penyempitan kebebasan sipil selama lebih dari 1 dekade (kurang lebih 15 tahun). OMS masih terpaku pada pendekatan lama sehingga sulit untuk adjust (re: menyesuaikan diri) dengan perkembangan global. (Oleh karena itu) Diperlukan adanya pemikiran baru mengenai demokrasi. Kesadaran kolektif dan citizenship kemungkinan berubah karena unit masyarakat yang memiliki keragaman”, jelas Meutia.
Acara ditutup dengan sesi konsolidasi bersama anggota INFID untuk merumuskan arah gerakan masyarakat sipil di Indonesia, serta saling memberi masukan terhadap kerja-kerja INFID dan masyarakat sipil.
