Pelita Padang: Inisiatif Dua Perempuan Lintas Keyakinan untuk Perdamaian di Kota Padang
Penulis: Ais Jauhara Fahira
Editor: Nur Hayati Aida
Keterangan: Like (kiri) dan Silmi (kanan) inisiator Pelita Padang (Sumber: Dok. Penulis)
Saat dunia sedang dilanda pandemi pada 2020, saya sudah memperhatikan aktivitas Pelita (Pemuda Lintas Agama) Padang melalui akun media sosial mereka. Sayangnya, pada waktu itu sulit bagi saya untuk berjumpa secara langsung dengan orang di balik komunitas ini. Hingga pada tahun 2021, saya berkesempatan terlibat dalam pelatihan jurnalistik yang diadakan Pelita Padang. Pada kesempatan itu, saya bertemu dengan Angelique Maria Cuaca yang akrab disapa Like, ketua Pelita Padang. Like kemudian mengenalkan saya kepada Silmi Novita Nurman–seorang akademisi di bidang Filsafat Islam dan aktivis–sahabatnya sekaligus Wakil Ketua Pelita Padang.
Dari mereka berdua, saya akhirnya tahu bagaimana sejarah berdirinya Pelita Padang. Cerita itu bermula pada tahun 2019, saat Pilpres dan Pilgub dilaksanakan pada tahun yang sama. Banyak partai politik yang menggunakan isu identitas sebagai strategi kampanye. Tahun politik dengan “tensi” yang tinggi karena menggunakan bahan bakar yang sangat sensitif. Tak heran jika ada orang yang tak saling mengenal bisa saling benci hanya karena beda pilihan politik atau beda identitasnya saja. Jika keadaan ini dibiarkan terus menerus, Like dan Silmi khawatir bisa menyebabkan terjadinya perpecahan di antara warga.
Selain itu, ada keresahan yang lahir saat melihat kondisi kota Padang. Sebab, beberapa kebijakan pemerintah Kota Padang belum inklusif terhadap keberagaman agama dan berkepercayaan, meski masyarakatnya berasal dari ragam agama dan kepercayaan. Misalnya pada tahun 2003, Pemerintah mengeluarkan Perda syariah pandai baca tulis al-Quran untuk pelajar sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, juga adanya aturan wajib hijab melalui Instruksi Wali Kota Padang Tahun 2005, ada pula aturan pencegahan penyakit masyarakat yang didasarkan pada Perda Tahun 2005 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Perda syariah yang dikeluarkan oleh Pemda Padang, menurut Dr. Andri Ashadi–akademisi dari Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Imam Bonjol–di antaranya disebabkan oleh falsafah Minangkabau Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah yang secara umum dimaknai sebagai dasar hukum. Andri juga berpendapat bahwa adat, oleh masyarakat Minang, dipahami posisinya tepat di bawah agama. Contoh yang bisa diambil adalah proses islamisasi kaum Padri yang menjadikan masjid sebagai salah satu identitas nagari ranah Minangkabau, lelaki mengenakan sorban dan membiarkan janggut terurai.
Selain dua alasan di atas, pengalaman personal juga menjadi faktor mengapa keduanya berkomitmen dalam isu keberagaman. Like, misalnya, sering mendapatkan perlakuan rasisme karena berdarah Tionghoa. Ketika sedang beradu argumen tentang suatu persoalan, Silmi lebih sering mendapatkan perlakuan ad hominem yang mengarah pada etnisitas, ketimbang berfokus pada penyelesaian persoalan,“Aku ingat tuh pernah berselisih dengan orang di jalan raya, lalu orang tersebut memaki dengan sebutan ‘dasar cina orang pendatang,” cerita Like.
Pun dengan Silmi, saat awal-awal berteman dengan Like, Silmi mendapat cibiran dari keluarga dan teman-temannya hanya karena Like berbeda agama dengannya. Ada semacam kekhawatiran bahwa berteman dengan orang yang berbeda agama akan menggoyahkan iman. Namun, prasangka ini tertepis seiring berjalannya waktu. Dengan tegas Silmi bercerita, “Awal berteman sama Like itu, orang pada nanyain kok mau sih temenan sama non-muslim, dia kan Katolik, Nanti kamu bisa ngikut tau”.
Keyakinan dan etnis berbeda di antara keduanya justru menjadi modal mereka dalam mengembangkan Pelita. Melalui Pelita, Like dan Silmi mengadakan ruang jumpa agar antar pemeluk agama dapat saling berdialog untuk bisa saling memahami dan menghargai. Ruang jumpa yang digagas itu melalui berbagai bentuk, misalnya melalui kegiatan bakti sosial atau melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, dan juga forum diskusi. Selain itu, Pelita Padang juga aktif melakukan advokasi dalam isu keberagaman. Di antaranya yang pernah didampingi oleh Pelita Padang adalag kasus pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah negeri, pemaksaan penggunaan busana dengan standar agama tertentu (seperti wajib memakai rok panjang yang di asrama UNAND), penolakan terhadap jemaat Kristen yang sedang melaksanakan kebaktian di rumah, dan masih banyak lagi.
Meski didirikan atas keresahan isu identitas dan keberagamaan, Pelita Padang menyadari bahwa isu keadilan gender dan budaya adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Oleh karenanya, Pelita melakukan kerja-kerja dengan pendekatan cross cutting issues. Untuk memperluas jaringan kerjanya, selain bekerja sama dengan berbagai pihak, melalui media sosial, Pelita Padang aktif di media sosial dengan mengkampanyekan keberagaman dan toleransi melalui berbagai konten. Konten media mereka juga secara aktif merangkul anak muda untuk berani bersuara tentang ragam budaya dari etnis.
Jalan Panjang dalam Kerja Perdamaian
Jalan pergerakan yang diinisiasi perempuan tidaklah selalu mudah dijalani. Dalam menjalankan kerja-kerja menyemai toleransi, Pelita Padang tak lepas dari tantangan. Tantangan pertama datang dalam bentuk stigma negatif. Misalnya tudingan pendangkalan akidah karena memberikan pelatihan kepada anak-anak muda dari berbagai agama untuk merawat keberagaman. Tantangan lain yang kerap Pelita Padang temui adalah sulitnya mendapatkan izin bagi para anggota dari orangtua atau keluarga karena berkegiatan bersama dengan yang berlainan iman. Salah satu alasannya karena di antara aktivitas kegiatan adalah kunjungan ke rumah ibadah agama lain, sehingga dianggap sebagai ajakan untuk masuk ke dalam agama tertentu.
Belum lagi anggapan bahwa perempuan tidak cukup cakap dalam menangani isu keberagaman, dalam beberapa kesempatan pada forum yang didominasi oleh laki-laki, Pelita Padang kerap dipandang sebelah mata. Misalnya posisi perempuan yang harus di belakang laki-laki atau bahkan ketika mengetengahkan realitas persoalan keberagaman, dianggap semua sudah baik-baik saja dengan dalih semua agama telah memiliki rumah ibadah. Padahal kenyataannya masih terdapat beberapa gereja yang belum mendapat IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
Sebagaimana tantangan yang dialami oleh perempuan ketika melakukan aktivisme, tantangan personal juga menghampiri anggota Pelita Padang. Sebagai seorang perempuan yang telah berkeluarga, Silmi mengaku kesusahan membagi perannya sebagai akademisi, aktivis dan ibu rumah tangga jika secara struktur tidak memiliki dukungan yang solid. Misalnya ketika anaknya yang masih balita tidak memungkinkan untuk dititipkan, dan ia harus menginap dalam kegiatan Pelita. Sehingga di samping mengisi kegiatan, Silmi nyaris tak terlelap karena harus mengasuh sang anak. Berbeda dengan Silmi, Like lebih sering mendapatkan pendisiplinan atas tubuhnya untuk mengenakan penutup kepala, sementara Like beragama Katolik. Sembari berkelakar ia bercerita, “Pelita tuh sering diajak kerja sama atau ketemu forum komunitas lain, tapi eh sampai di sana diharuskan memakai jilbab, kan aku Katolik masa dipaksa berjilbab, haha” ujar Like sembari berkelakar.
Meski banyak tantangan, kerja-kerja Pelita Padang dan gerakan masyarakat sipil yang konsen pada isu keberagaman menampakkan hasil. Pada laporan Indeks Kota Toleran tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Setara Institute, Kota Padang turun satu peringkat dari tahun sebelumnya, yakni peringkat 91 dari 94 kota dengan skor 4,260. Pada tahun 2022, Kota Padang menduduki peringkat ke-92 dari 94 kota dengan skor 4,060. Posisi ini menempatkannya sebagai salah satu kota dengan tingkat toleransi terendah di Indonesia, hanya di atas Depok dan Cilegon.
Pelita Padang berharap memperjuangkan hak keberagaman beragama dan berkeyakinan bukan hanya kerja satu kelompok atau komunitas, melainkan harus melibatkan banyak pihak dan seluruh lapisan masyarakat. Sebab, hal itu merupakan tugas besar yang harus diselesaikan secara bersama-sama.
***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
Referensi
Setara Institute. n.d. “Indeks Kota Toleran 2022.” https://setara-institute.org/indeks-kota-toleran-2022/.
Yosarie, Ikhsan, Sayyidatul Insiyah, Nabhan Aiqani, and Halili Hasan. 2023. “Indeks Kota Toleran Tahun 2023.” Print. Edited by Ismail Hasani. Indeks Kota Toleran. Pustaka Masyarakat Setara. https://www.setara-institute.org.
Padang, Badan Pusat Statistik Kota. 2024. “Kota Padang Dalam Angka 2024.” Badan Pusat Statistik Kota Padang. February 28, 2024. https://padangkota.bps.go.id/id/publication/2024/02/28/c4991c8e8aeffe085e50de1e/kota-padang-dalam-angka-2024.html.