
Kenduri Sebagai Implementasi Toleransi
Penulis: Sinta Dewi Wulandari
Editor: Nur Hayati Aida
Salah satu kearifan lokal yang masih dilestarikan di beberapa daerah hingga hari ini adalah kenduri atau slametan. Kenduri, dalam bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti; /ken·du·ri/ n perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat, dsb; selamatan (Nasution et al. 2023). Kenduri juga dapat diartikan sebagai kegiatan berdoa bersama (sesuai kebutuhan yang mengundang) dan dihadiri oleh para tetangga serta kerabat dekat. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang tokoh yang dituakan di lingkungan masyarakat.
Sistem pelaksanaan kenduri ini pada dasarnya sangat sederhana. Seseorang yang ingin melaksanakan kenduri akan mengundang tetangga atau kerabatnya pada waktu yang telah ditentukan. Dalam kenduri, biasanya hanya dihadiri oleh laki-laki saat pelaksanaannya. Sementara para perempuan berperan untuk menyiapkan hidangan dan tempatnya. Kemudian saat seluruh undangan sudah tiba, baru kemudian modin membacakan ijab yang isinya kurang lebih menjelaskan tujuan serta niat dari kenduri yang diadakan oleh pemilik rumah. Setelah itu dilanjutkan iringan doa dengan harapan hajat yang diinginkan pemilik rumah terkabul. Di akhir acara, makanan akan dibagikan dalam sebuah wadah atau besek. Makanan kenduri ini biasanya disebut nasi berkat. Disebut sebagai nasi berkat sebab ada harapan bahwa setelah di sedekahkan nasi tersebut mendapatkan berkat dari Yang Maha Kuasa.
Salah satu daerah di Indonesia yang masih melaksanakan tradisi kenduri hingga hari ini adalah Tlogotirto, sebuah desa yang berada di Kecamatan Sumberlawang, Sragen. Di Tlogotirto, ada banyak jenis kenduri yang masih dilaksanakan, seperti kenduri selapanan (kenduri untuk bayi yang berusia tiga puluh lima hari), mitoni (memperingati usia tujuh bulan kehamilan), syukuran (misal membeli kendaraan baru, rumah baru, atau menikah), wetonan (memperingati hari lahir sesuai dengan hari pasaran), tiga hingga seribu harian orang meninggal, dll.
Desa Tlogotirto terdiri dari masyarakat majemuk dengan persentase penganut Muslim dan Hindu yang hampir seimbang. Sehingga pelaksanaan kenduri di sana kental dengan pengamalan nilai toleransi antara dua agama dan tradisi lokal, terutama saat perayaan hari raya dan tahun baru Jawa.
Misalnya kenduri Hari Raya Galungan–yang dilaksanakan saat h-1 Hari Raya Galungan oleh umat Hindu–dengan tujuan untuk memanggil leluhur dari alam baka untuk bersama-sama merayakan Galungan. Hari Raya Galungan diadakan setiap enam bulan sekali untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma, yaitu kemenangan melawan kejahatan. Sehingga leluhur diturunkan ke bumi untuk merayakan kemenangan dan bersukacita bersama keluarga.
Saat pelaksanaan kenduri Galungan, penduduk desa, termasuk yang muslim akan menghadiri kenduri di rumah warga yang beragama Hindu. Walaupun modin (sebutan bagi pemimpin kenduri di desa Tlogotirto) yang dituakan di daerah tersebut beragama Islam, beliau tetap melaksanakan kewajibannya dalam memimpin kenduri. Hanya saja ketika berdoa akan diwakilkan oleh salah satu umat Hindu yang ada dalam kenduri tersebut.
Atau saat Ramadan, masyarakat Muslim di Tlogotirto akan melaksanakan kenduri selikuran yang dilaksanakan pada hari ke 21. Selikur adalah bahasa Jawa dari dua puluh satu. Malam ke 21 pada bulan Ramadhan. Pengamalan toleransi tercermin saat seluruh penduduk desa, termasuk umat Hindu akan bersama-sama berkunjung ke rumah umat muslim untuk melaksanakan kenduri. Doa yang dihaturkan oleh modin pada saat kenduri pun tentunya bernafaskan Islam.
Pada tahun baru Jawa yang jatuh pada tanggal satu Suro, masyarakat Tlogotirto, baik yang beragama Hindu atau Islam, akan melaksanakan kenduri sebagai cerminan bahwa seluruh penduduk desa berasal suku Jawa, serta untuk melestarikan tradisi. Umumnya, satu Suro dianggap sama dengan satu Muharram, namun sebenarnya terdapat perbedaan. Satu Suro adalah tahun baru Jawa, sedangkan Muharram adalah tahun baru Islam. Pada masa Kerajaan Mataram, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka, hasil warisan tradisi Hindu, sedangkan pada masa Kesultanan Mataram Islam menggunakan sistem kalender Hijriah. Sultan Agung yang pada saat itu memimpin memiliki cita-cita untuk menyebarluaskan ajaran Islam di tanah Jawa, sehingga berinisiatif memadukan kalender saka dengan kalender hijriah, kemudian lahirlah kalender Jawa. Sampai hari ini, tanggal satu Suro masih diperingati oleh masyarakat Jawa dengan melaksanakan kenduri. Walaupun begitu, terkadang ada yang melaksanakan kenduri Suro sekaligus untuk menyambut tahun baru Islam. Tetapi apapun niatnya, seluruh penduduk desa tetap akan bersama-sama berkeliling desa untuk melaksanakan kenduri.
Walaupun kenduri digunakan sebagai sarana untuk menyambut perayaan tertentu, bukan berarti hanya umat agama tersebut yang bersukacita. Maka dari itu, kenduri secara tidak langsung menjadi mekanisme sosial untuk merawat perdamaian dan merajut keutuhan di antara masyarakat yang majemuk. Tiap orang sama dan tidak dibedakan apapun niat dari kenduri yang dilaksanakan. Meski ada beberapa orang yang menolak tradisi kenduri karena dianggap musyrik dan menyalahi syariat agama tertentu karena menggunakan kemenyan atau dupa. Namun, hal itu tidak menghilangkan tradisi kenduri yang ada di Tlogotirto. Dalam tradisi Jawa, dikenal ungkapan “Talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos” yang berarti bahwa setiap acara, ritual, atau hajat yang diselenggarakan hendaknya untuk meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Memerhatikan niat tersebut, pembakaran kemenyan dalam kenduri bukanlah laku yang musyrik, seperti yang dituduhkan (Sholikin, 2010).
Melalui kenduri, warga Tlogotirto mempererat ikatan sosial dan saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan. Kemajemukan yang diikuti dengan penerimaan akan perbedaan menjadi kunci utama dari terciptanya masyarakat yang damai.
***Artikel ini merupakan kerja sama antara penulis dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas.
Referensi
Nasution, Ismail Effendi, Resha Khofila, Mhd Ulul Azmi, Muhammad Syukri Albani Nasution, and Imam El Islamy. 2023. “Akulturasi Islam Pada Budaya Kenduri Ketupat Pada Bulan Ramadhan.” An-Nadwah 29 (1): 22–33.
Njatrijani, Rinitami. 2018. “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang.” Gema Keadilan 5 (1): 16–31.
Sholikhin, Muhammad. 2010. Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa. Penerbit Narasi.
Susanti, Rani, and Achiriah Achiriah. 2024. “Dinamika Tradisi Malem Selikuran Pada Masyarakat Jawa Di Desa Tanjung Pasir Labuhanbatu Utara.” Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia 10 (1): 7–12.